Tuesday, June, 7th 2016
14.31 WIB
Wake Up in the Past Dream
Kali ini aku ingin
bercerita tentang mimpiku. Mimpi yang hanya menjadi mimpi dan penyesalan hingga
sekarang. Hari ini, 6 Juni 2016, aku tidak sengaja menemukan akun instagram
teman kecilku, lawan main sebenarnya. Gilanya, sekarang dia muncul dimana-mana saat
aku menulis namanya di situs pencarian google
atau Youtube, lihat saja sebentar
lagi Wikipedia pasti akan segera
mengunggah informasi tentangnya. Dia
sudah menjadi orang hebat, yang seluruh dunia tahu prestasinya. Everyone wants to take a picture with her in
every moment. Keren sekali kan, beda jauh denganku. Aku hanya menjadi
mahasiswi berkacamata yang hanya memegang buku dan laptop setiap hari, yang
juga ngga pinter-pinter amat¸dan
serba biasa saja. Really, This makes me so
sad to remember my past that full of hopes and dreams, and I occasionally miss
it.
Ya, dulu aku adalah
seorang atlit bulutangkis, sama dengan temanku itu. Setiap aku lihat
pertandingan di televisi, aku selalu berdoa dengan penuh harap agar suatu saat
aku bisa berada di tempat yang sama dengan mereka. Hidup dengan penuh
perjuanagan dan tekad untuk membawa harum nama bangsa. I knew, everyone wants it. Aku mulai belajar sejak umur 4 tahun.
Ayahku sendiri yang melatih awalnya. Kemudian saat aku berumur 8 tahun, Ayah
membawaku ke sebuah club bulutangkis
kecil di kecamatanku. Sampai sekarang aku masih ingat My first champion is when I was 8 years old, saat itu aku baru tiga
bulan ikut latihan dan aku mendapatkan juara ketiga. Betapa bangganya aku saat
itu, pertama kali mendapat piala dari jerih payah sendiri.
Di mulai dari situ, aku
mulai mencintai bulutangkis. Ayah selalu membimbingku. He is my couch and official. Aku berlatih setiap hari dan Ayah
membawa ke sebuah club bulutangkis
yang lebih besar di kotaku. Saat ini lah aku mulai berkembang dan menjuarai
pertandingan di beberapa kota di Indonesia. Aku banyak belajar tentang arti
usaha, perjuangan, dan do’a di sini. Aku latihan tanpa henti. 6 kali seminggu. My Dad woke me up at 4 a.m for had a
training. Trust me, it was hard for me. Bagi
anak SD, bangun jam 4 bukan hal yang mudah. Di saat teman-teman yang lain masih
tidur dan baru bangun pukul 6. Aku harus lari10 putaran mengelilingi rumah. Shuttlerun 10-15 kali diimbangi dengan sit up, back up, dan angkat kaki 20 kali
di masing-masng istirahat shuttlerun. Terkadang
aku mencuri waktu untuk tidur saat ayahku tidak melihat (karena keadaan masih
petang, sehingga ayah tidak tahu aku tidur saat
sit up). Semua itu aku
lakukan, setiap pagi, setiap hari. Ditambah latihan di club pukul 2 siang hingga jam 7-8 malam 6 kali seminggu.
Semua itu tidak
mudah teman, seringkali ayah memarahiku jika aku tidak bersungguh-sungguh dalam
latihan, dipaksa dan dimarahi untuk berangkat latihan saat sedang asyiknya
bermain dengan teman sepulang sekolah, hingga aku selalu merasa deg-deg an saat
berangkat ke gedung latihan (dan hal ini masih berlaku hingga sekarang). Tahun
2007, saat aku berusia 10 tahun, ayah menguji hasil jerih payahku selama 3
tahun, beliau membawa ku untuk mengikuti beasiswa djarum badminton di Kudus,
dan seperti yang diduga sebelumnya, aku gagal. Ayah berkata padaku, bahwa
sesungguhnya beliau membawaku untuk mengkuti tes itu karena Ayah ingin aku
tahu, bahwa I am still nothing. Masih
banyak yang lebih bagus dariku dan masih perlu banyak usaha lagi untuk bisa
menjadi The Real Champion!.
Satu hal membuat
aku pilu bukan kepalang hingga sekarang. I
remember my last match. Ayah mengakatan bahwa pertandingan ini adalah pertandingan penentu,
yang akan membawaku ke salah satu pintu dari dua pintu yang ada. Pintu yang
sangat berbeda, bagaikan langit dengan bumi. Aku berjuang mati-matian untuk
pertandingan ini, persiapan berbulan-bulan lamanya, tanpa lelah dan tanpa henti
berlatih, hingga akhirnya aku sampai di babak final. Babak penentu masa
depanku, apakah aku akan menjadi atlit hebat seperti mimpiku, atau kah aku
harus mundur dan berbelok untuk mencari mimpi baru. Ya, itu pertandingan
terbesar dalam sejarah hidupku. Saat aku melawan temanku yang sekarang sudah
terkenal itu. Aku merasa bahwa saat itulah aku benar-benar berjuang. Angka demi
angka kuraih dengan butir-butir keringat yang membasahi seluruh tubuhku. Suara riuh
pendukung, pelatih, dan semua penonton, I
still remember it all. It was a beautiful moment in my life, I won’t forget it.
Kemampuan kami sama saat itu, kita bermain tiga set dengan nilai yang
“sangat” tidak terpaut jauh. Masih tergambar dengan jelas hingga saat ini,
bagaimana Ayah berteriak menyemangatiku dari pinggir lapangan saat detik-detik
terakhir pertandingan set ketiga. Itu pertama kalinya dalam sejarah hidupku
melihat Ayah sesemangat itu. Ayah adalah orang yang pendiam, tidak banyak
bicara. Namun saat itu aku tahu, bahwa Ayah menaruh penuh harapannya
dipundakku. DAN AKU GAGAL. Aku GAGAL mewujudkan harapannya. Aku GAGAL
mewujudkan mimpiku yang selama ini aku kejar. Aku harus menuju pintu satunya,
yang menuntunku untuk mundur dan mencari mimpi lain. Ini memang sudah sebuah
keputusan dan resiko yang harus aku terima atas keputusan itu. Aku sudah
membicarakannya matang-matang dengan Ayah dan Ibu. Ibu menginginkan aku untuk
menjadikan bulutangkis ini sebagai hobi saja. Sehingga jika di pertandingan final
itu aku kalah, maka aku harus menjadikan prestas akademik sebagai prioritas
utamaku, sedangkan jika aku berhasil, aku akan terus berada di bulutangkis dan
berusaha agar diterima di djarum. And
perhaps, I was in there, with you, Gis. To be a champion who brought INDONESIA
in my chest IF I WON that game. But life brings me to the other side.
Banyak
penyesalan setelah malam pertandingan itu, yang sampai sekarang masih
memunculkan kata SEANDAINYA. “Seandainya
aku menang, aku pasti jad juara yang sekarang semua orang tahu nama dan maneruh
harapan mereka tentang Indonesia kepadaku.” “Seandainya aku tetap menekun
bulutangkis, aku ngga akan susah-susah diet supaya berat badanku normal.”
“Seandainya masih masih badminton, aku pasti bisa tumbuh tinggi dengan baik sepertimu
Gis. (She is 171 cm and I am 156 cm right now -,- We had a same tall in 2007).”
dan “Seandainya aku masih badminton,
aku pasti sudah tahu tujuan dan mimpi hidupku, tidak seperti sekarang ini.” dan
masih banyak seandainya-seandainya lainnya.
To be honest, aku belum menemukan jati diriku
hingga sekarang. Aku belum mengerti apa kemampuan dan tujuan hidupku. Yang aku
tahu, aku ingin menjadi orang hebat. Yang semua orang tahu namaku atas kebaikan
yang aku lakukan. Dan aku berharap agar informasi ku dimuat di Wikipedia agar semua orang mudah untuk
mengenalku. Apakah itu pantas disebut dengan mimpi? Dan apakah bisa itu
diwujudkan oleh orang sesuper sederhana seperti diriku? Only time can answers it.
Aku juga masih
ingat, saat kita diundang di salah satu restaurant
terbaik di kotakami sebagai salah satu hadiah dari pertandingan itu. Saar
ayahmu memarahi kita kare kita anti makan “ceker”.
Ayahmu bilang kalau “ceker” baik untuk tulang, dan kita malah berkata
sebaliknya karena kita sama-sama berpikiran kalau “ceker”itu menjijikkan karena para ayam memakinya nya untuk mencakar
tanah yang penuh dengan tai. Haha. Aku
bangga dan iri kepadamu, Gis. Kamu
telah menemukan jalanmu. I exactly knew, everyone has their own way.
But the problem is aku ngga tau jalanku
di mana. Aku belum menemukannya, aku masih mencari. Aku berharap aku seger
menemukan tempat yang tepat buatku.
Aku tidak
berharap aku akan berada di titi yang sama dengamu, tetapi aku berharap semoga
suatu saat nanti, aku akan ada di suatu garis yang sama denganmu.
0 komentar:
Posting Komentar